Indonesian Reviews Reviews

Film Review: Pintu Terlarang (2009) oleh Joko Anwar

“Pintu Terlarang” adalah pemenang Film Terbaik tahun 2009 di Puchon International Fantastic Film Festival. Film ini telah diputar di berbagai festival di dunia seperti di Inggris, Kanada, Spanyol, Belanda, Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya. Diadaptasi dari novel karya Sekar Ayu Asmara, “Pintu Terlarang” mendapatkan respon positif dari berbagai kritikus film, diantaranya adalah Time Magazine dan Hollywood Reporter.

Mengikuti genre noir, “Pintu Terlarang” mengisahkan tentang seorang lelaki bernama Gambir yang berprofesi sebagai pematung spesialis perempuan hamil. Sekilas, dia memiliki semuanya: uang, kepopuleran, istri cantik (Talyda) dan dua sahabat yang loyal (Rio dan Dandung). Satu-satunya yang hilang dari kesempurnaan ini adalah seorang anak yang menjadi sumber omelan ibunya untuk segera mempunyai momongan. Meskipun semua dalam hidupnya nampak normal, setelah film berjalan, hal-hal aneh mulai bermunculan dan misteri demi misteri mulai terkuak.

Apa sebenarnya yang ada di dalam perut patung-patung hamil yang Gambir buat? Siapa yang terus-terusan memberinya pesan permintaan tolong? Apa yang tersembunyi di balik pintu berwarna merah di dalam ruang bawah tanah di rumahnya dan mengapa Talyda meminta Gambir untuk tidak membuka pintu tersebut? Apa sebenarnya Herosase? Apakah Gambir berhalusinasi? Dan pada akhirnya, dimana realita berhenti dan semua fantasi dimulai?

, yang juga menulis skrip film ini, dengan terampil menyutradarai film yang menggabungkan unsur artistik dengan absurditas dalam setting noir. Kombinasi keduanya dapat dilihat secara lugas di dalam film, seperti penampilan patung-patung hitam wanita hamil yang sengaja dibentuk dalam pose ekstrim seperti daur ulang aneh dari karya-karya Rodin dan misteri apa yang ada di dalam perut patung-patung tersebut. Dan ketika misteri tersebut terkuak, plot film ini menikuk ke ranah yang tidak terduga. 

Tikungan ini kemudian menjadi tak terkendali ketika Herosase mulai memasuki cerita, lengkap dengan kemunculan video-video mengejutkan mereka di layar. Dengan konsep ini, dan fakta bahwa patung-patung Gambir sangatlah digemari, Joko Anwar mengutarakan pendapatnya mengenai sifat manusia, yang sengaja dibuat untuk mengurai kontroversi, dalam berbagai bentuk.

Kombinasi artistik dan eksploitasi pada akhirnya “pecah” di sebuah adegan makan malam, salah satu adegan paling berdarah dan kejam dalam film ini. Adegan tersebut ditata dengan begitu ciamik oleh sinematografer Ipung Rachmat Saipul, yang melukis adegan tersebut dengan nuansa warna merah, lengkap dengan darah yang mengalir di depan layar. Seperti film-film Park Chan-wook, musik yang halus dan tenang sebagai latar justru semakin menambah ironi  ketika Fachri Albar sebagai Gambir menunjukkan sisi kelamnya di balik senyum tenangnya.

Kalimat yang bisa menggambarkan bagian besar dari film ini juga diutarakan oleh Gambir dalam adegan ini: “Ibu tahu nggak, kalau sebenarnya nggak ada seorang anak pun yang ingin dilahirkan di dunia ini. Setiap anak lahir karena konsekuensi hubungan bapak dan ibunya. Tapi sebagian orang tua masih bisa dimaafkan karena mereka ngasih sayang. Ngasih cinta, Bu. Bukan cuma penderitaan dan sakit saja.”

Ketika garis antara realita dan fantasi mulai memudar, terutama status mental Gambir, “Pintu Terlarang” menjadi agak sedikit membingungkan dengan kesimpulan yang tidak pasti dengan tiga sekuens yang berbeda. Akan tetapi, editing dari Wawan I. Wibowo tetap enak diikuti dengan tempo noir yang pas.

“Pintu Terlarang”” adalah sebuah film yang kompleks, baik secara teknis dan estetik, yang enak dinikmati sampai akhir film lengkap dengan twist yang tak kunjung usai. Pada intinya, “Pintu Terlarang adalah salah satu thriller noir terbaik selama dekade terakhir.

About the author

Panos Kotzathanasis

Panagiotis (Panos) Kotzathanasis is a film critic and reviewer, specialized in Asian Cinema. He is the owner and administrator of Asian Movie Pulse, one of the biggest portals dealing with Asian cinema. He is a frequent writer in Hancinema, Taste of Cinema, and his texts can be found in a number of other publications including SIRP in Estonia, Film.sk in Slovakia, Asian Dialogue in the UK, Cinefil in Japan and Filmbuff in India.

Since 2019, he cooperates with Thessaloniki Cinematheque in Greece, curating various tributes to Asian cinema. He has participated, with video recordings and text, on a number of Asian movie releases, for Spectrum, Dekanalog and Error 4444. He has taken part as an expert on the Erasmus+ program, “Asian Cinema Education”, on the Asian Cinema Education International Journalism and Film Criticism Course.

Apart from a member of FIPRESCI and the Greek Cinema Critics Association, he is also a member of NETPAC, the Hellenic Film Academy and the Online Film Critics Association.

Subscribe to Our Newsletter

>